HUKUM MENYETUBUHI ISTERI YANG SEDANG HAIDH

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya : Tntang hukum persetubuhan yang dilakukan seorang pria terhadap isterinya yang sedang dalam keadaan haidh?

Jawaban
Persetubuhan yang dilakukan seorang pria terhadap isterinya yang sedang haidh adalah haram berdasarkan Kitabullah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman.

“Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh itu adalah suatu kotoran’. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh” [Al-Baqarah : 222]

Maksud ayat ini adalah larangan untuk menyetubuhi wanita yang sedang haidh. Al-Mahidl artinya adalah tempat keluarnya darah haidh yaitu faraj (kemaluan), dan jika seorang pria berani menyetubuhi isterinya yang sedang haidh itu maka hendaknya pria itu bertaubat dan tidak mengulangi perbuatan itu lagi, kemudian pria itu dikenakan kaffarah (denda) sebanyak satu dinar atau setengah dinar berdasarkan hadits marfu Ibnu Abbas tentang pria yang menyetubuhi isterinya yang sedang mendapatkan haidh, ia berkata :

“Hendaknya ia bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar”,.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i. Yang dimaksud dengan satu dianr adalah satu mitsqol emas ( satu dinar atau satu mistqol emas adalah 4 ¼ gram), dan jika ia tidak mendapatkannya maka sebagai penggantinya adalah seukuran harga perak. Wallahu A’lam.

[Fatawa wa Rasa’il Syaikh Muhamad bin Ibrahim 2/98]

SEORANG PRIA MENYETUBUHI ISTERINYA SETELAH HAIDH DAN NIFAS SEBELUM BERSUCI (MANDI WAJIB)

Oleh
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta ditanya : Seorang pria menyetubuhi isterinya yang telah habis masa haidhnya atau masa nifasnya sebelum isterinya itu mandi wajib, hal itu ia lakukan karena tidak mengetahuinya, apakah pria itu dikenakan kaffarah (denda)? Dan berapa banyak dendanya itu? Lalu jika wanita itu hamil karena persetubuhan itu, apakah anak hasil persersetubuhan itu disebut dengan anak haram?

Jawaban
Menyetubuhi wanita haidh pada kemaluannya adalah haram berdasarkan firman Allah.

“Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh itu adalah suatu kotoran’. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci” [Al-Baqarah : 222]

Barangsiapa yang melakukan hal itu maka hendaklah ia memohon ampunan kepada Allah serta bertaubat kepadaNya, kemudian hendaknya ia bersedekah setengah dinar sebagai denda atas apa yang telah ia lakukan, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan dengan sanad yang baik dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada pria yang menyetubuhi isterinya yang sedang haid.

“Artinya : bersedekahlah engkau dengan satu dinar atau setengah dinar”

Berapapun yang anda keluarkan sebagai denda di antara dua pilihan itu dibolehkan, ukuran satu dinar adalah empat pertujuh kebutuhan per kapita Saudi. Jika kebutuhan per kapita Saudi adalah tujuh puluh real, maka kaffarah itu sebanyak dua puluh real atau empat puluh real yang anda sedekahkan kepada fakir miskin.

Dan tidak boleh bagi seorang pria menyetubuhi isterinya setelah habis masa haidh sebelum sang isteri bersuci (mandi wajib) berdasarkan firman Allah.

“Artinya : Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu” [Al-Baqarah : 222]

Ayat ini menerangkan bahwa Allah tidak mengizinkan seorang pria menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum berhenti haidhnya dan sebelum bersuci (mandi haidh), dan bagi pria yang menyetubuhi isterinya sebelum mandi maka pria itu telah berbuat dosa serta dikenakan denda, kemudian jika persetubuhan itu menyebabkan kehamilan maka anak yang dilahirkan bukanlah anak haram melainkana anakyang sah secara syar’i.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta 5/398]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsudin Lc, Penerbit Darul Haq]

sumber : al-manhaj.or.id